KEMISKINAN DAN KESENJANGAN
A.
Konsep
dan Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan
adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar,
ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan
masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif,
dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll.
Konsep
Kemiskinan
Kemiskinan
dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu
pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup seseorang atau
kekeluarga. Kedua istilah itu menunjuk pada perbedaan sosial (social
distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi pendapatan.
Perbedaannya adalah bahwa pada kemiskinan absolut ukurannya sudah terlebih
dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata (garis kemiskinan) dan atau
indikator atau kriteria yang digunakan, sementara pada kemiskinan relatif
kategori kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan
antar penduduk. Untuk melihat lebih jauh kondisi kemiskinan yang terjadi di
Indonesia berikut ini ditampilkan tabel perkembangan jumlah penduduk miskin
yang terjadi di daerah perkotaan dan pedesaan beserta persentase penduduk
miskin.
B.
Garis
Kemiskinan
Garis
kemiskinan di Indonesia secara luas digunakan pertama kali dikenalkan oleh
Sajogyo pada tahun 1964 yang diukur berdasarkan konsumsi setara beras per
tahun. Menurut Sajogyo terdapat tiga ukuran garis kemiskinan yaitu miskin,
sangat miskin dan melarat yang diukur berdasarkan konsumsi per kapita per tahun
setara beras sebanyak 480 kg, 360 kg dan 270 kg untuk daerah perkotaan dan 320
kg, 240 kg dan 180 kg untuk daerah pedesaan (Arndt, Pembangunan dan Pemerataan,
hal 58, 1987). BPS menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin (head count
index) yaitu penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan berdasarkan data
hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Garis kemiskinan yang merupakan
dasar penghitungan jumlah penduduk miskin dihitung dengan menggunakan
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) yaitu besarnya rupiah yang
dibutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan
atau lebih dikenal dengan garis kemiskinan makanan dan non makanan.
Kemiskinan
Relatif Kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk pada perbedaan relatif
tingkat kesejahteraan antar kelompok masyarakat. Mereka yang berada dilapis
terbawah dalam persentil derajat kemiskinan suatu masyarakat digolongkan
sebagai penduduk miskin. Dalam kategori seperti ini, dapat saja mereka yang
digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah dapat mencukupi hak dasarnya, namun
tingkat keterpenuhannya berada dilapisan terbawah. Kemiskinan relatif memahami
kemiskinan dari dimensi ketimpangan antar kelompok penduduk. Pendekatan
ketimpangan tidak berfokus pada pengukuran garis kemiskinan, tetapi pada
besarnya perbedaan antara 20 atau 10 persen masyarakat paling bawah dengan 80
atau 90 persen masyarakat lainnya. Kajian yang berorientasi pada pendekatan
ketimpangan tertuju pada upaya memperkecil perbedaan antara mereka yang berada
dibawah (miskin) dan mereka yang makmur dalam setiap dimensi statifikasi dan
diferensiasi sosial. Ketimpangan merupakan suatu permasalahan yang berbeda
dengan kemiskinan. Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk
miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan dan perlu
disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan.
Garis
kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan
antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang
sama. World Bank mengelompokkan penduduk kedalam tiga kelompok sesuai dengan
besarnya pendapatan: 40 persen penduduk dengan pendapatan rendah, 40 persen
penduduk dengan pendapatan menengah dan 20 persen penduduk dengan pendapatan
tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase jumlah
pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40 persen terendah
dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Kategori ketimpangan ditentukan
dengan menggunakan kriteria seperti berikut: Jika proporsi jumlah pendapatan
dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan
seluruh penduduk kurang dari 12 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan
tinggi. Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40
persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12-17 persen
dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang. Jika proporsi jumlah pendapatan
dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan
seluruh penduduk lebih dari 17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan
rendah.
C.
Penyebab
dan Dampak Kemiskinan
Penyebab
Kemiskinan
Secara
umum, penyebab kemiskinan dapat dibagi kedalam empat mazhab (Spicker,
2002),yaitu: Pertama, Individual explanation, mazhab ini berpendapat bahwa
kemiskinan cenderung diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendiri.
Karakteristik yang dimaksud seperti malas dan kurang sungguh-sungguh dalam
segala hal, termasuk dalam bekerja. Mereka juga sering salah dalam memilih,
termasuk memilih pekerjaan, memilih jalan hidup, memilih tempat tinggal,
memilih sekolah dan lainnya. Gagal, sebagian orang miskin bukan karena tidak
pernah memiliki kesempatan, namun ia
gagal menjalani dengan baik kesempatan tersebut.
Seseorang
yang sudah bekerja namun karena sesuatu hal akhirnya ia diberhentikan(PHK) dan
selanjutnya menjadi miskin. Ada juga yang sebelumnya telah memiliki usaha yang
baik, namun gagal dan bangkrut, akhirnya menjadi miskin.
Sebagian lagi pernah memperoleh kesempatan mengikuti
pendidikan yang lebih tinggi, namun gagal menyelesaikannya, drop out dan
akhirnya menjadi miskin. Tidak jarang juga terlihat bahwa seseorang menjadi
miskin karena memiliki cacat bawaan. Dengan keterbatasannya itu ia tidak mampu
bekerja dengan baik, bersaing dengan yang lebih sehat dan memiliki kesempatan
yang lebih sedikit dalam berbagai hal yang dapat menentukankondisi ekonomi
hidupnya.
Kedua,
Familial explanation, mazhab ini berpendapat bahwa kemiskinan lebih disebabkan
oleh faktor keturunan. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah telah membawa
dia kedalam kemiskinan. Akibatnya ia
juga tidak mampu memberikan pendidikan
yang layak kepada anaknya, sehingga
anaknya juga akan jatuh pada kemiskinan. Demikian secara terus menerus dan
turun temurun.
Ketiga,
Subcultural explanation, menurut mazhab ini bahwa kemiskinan dapat disebabkan
oleh kultur, kebiasaan, adat-istiadat, atau akibat karakteristik perilaku lingkungan.
Misalnya, kebiasaan yang bekerja adalah
kaum perempuan, kebiasaan yang
enggan untuk bekerja keras dan menerima
apa adanya, keyakinan bahwa mengabdi kepada para raja atau orang terhormat
meski tidak diberi bayaran dan berakibat pada kemiskinan. Terkadang orang
seperti ini justru tidak merasa miskin karena sudah terbiasa dan memang kulturnya yang membuat demikian.
Keempat,
Structural explanations, mazhab ini menganggap bahwa kemiskinan timbul akibat
dari ketidakseimbangan, perbedaan status yang dibuat oleh adat istiadat, kebijakan,
dan aturanlain menimbulkan perbedaan hak untuk bekerja, sekolah dan lainnya
hingga menimbulkan kemiskinan di antara mereka yang statusnya rendah dan haknya terbatas.
Kemiskinan
yang disebabkan oleh dampak kebijakan pemerintah, atau kebijakan yang tidak
berpihak pada kaum miskin juga masuk ke dalam mazhab ini, sehingga kemiskinan
yang timbul itu sering disebut dengan kemiskinan struktural.
Kemiskinan tidak
hanya terdapat di desa, namun juga di kota. Kemiskinan di desa terutama
disebabkan oleh faktor-faktor antara lain:
·
Ketidakberdayaan.
·
Keterkucilan,
·
Kemiskinan
materi,
·
Kerentanan,
·
Sikap,
Kemiskinan dapat
juga disebabkan oleh:
·
Rendahnya
kualitas angkatan kerja
·
Akses
yang sulit dan terbatas terhadap kepemilikan modal
·
Rendahnya
tingkat penguasaan teknologi
·
Penggunaan
sumberdaya yang tidak efisien
·
Pertumbuhan
penduduk yang tinggi (Sharp et al, 2000).
Selain dari
berbagai pendapat di atas, kemiskinan secara umum disebabkan oleh dua
faktor,yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal adalah faktor
yang datang dari dalam diri orang miskin, seperti sikap yangmenerima apa
adanya, tidak bersungguh-sungguh dalam berusaha, dan kondisi fisik yangkurang
sempurna. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri
si miskin,seperti keterkucilan karena akses yang terbatas, kurangnya lapangan
kerja, ketiadaankesempatan, sumberdaya alam yang terbatas, kebijakan yang tidak
berpihak dan lainnya.Sebahagian besar faktor yang menyebabkan orang miskin
adalah faktor eksternal.Beberapa faktor penyebab kemiskinan lainnya adalah
pertumbuhan ekonomi lokal dan globalyang rendah, pertumbuhan penduduk yang
tinggi, dan stabilitas politik yang tidak kondusif.
Dampak
kemiskinan antara lain :
·
Kriminalitas
·
Tingkat
pendidikan rendah
·
Tingkat
kesehatan rendah dan meningkatnya angka kematian
D.
Pertumbuhan,
Kesenjangan dan Kemiskinan
Data
1970 – 1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan
tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan
perkapita, semakin besar perbedaan si kaya dengan si miskin.
Penelitian
di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode
1970an dan 198an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil,
tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland,
Inggris dan Swedia.
Janti
(1997) menyimpulkan, semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan
disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan
kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan
pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam
jumlah pendapatan keluarga.
Hipotesis
Kuznetsè ada korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat
pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan. Dengan
data cross sectional (antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemukan
bahwa relasi kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk
U terbalik.
Hasil
ini menginterpretasikan: Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi
dari ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan (ekonomi industri) è Pada awal
proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik sebagai akibat
proses urbanisasi dan industrialisasi dan akhir proses pembangunan, ketimpangan
menurun karena sektor industri di kota sudah menyerap tenaga kerja dari desa atau produksi atau penciptaan
pendapatan dari pertanian lebih kecil.
Banyak
studi untuk menguji hipotesis Kuznets dengan hasil:
·
Sebagian
besar mendukung hipotesis tersebut, tapi sebagian lain menolak
·
Hubungan
positif pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan hanya dalam jangka
panjang dan ada di DC’s
·
Kurva
bagian kesenjangan (kiri) lebih tidak stabil daripada porsi kesenjangan menurun
sebelah kanan.
Deininger
dan Squire (1995) dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486
observasi dari 45 LDC’s dan DC’s (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini
berkorelasi positif antara tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.
Anand
dan Kanbur (1993) mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976) yang mendukung
hipotesis Kuznets. Keduanya menolak hipotesis Kuznets dan menyatakan bahwa
distribusi pendapatan tidak dapat dibandingkan antar Negara, karena konsep
pendapatan, unit populasi dan cakupan survey berbeda.
Hubungan Pertumbuhan
dan Kemiskinan.
Hipotesis
Kuznets: Pada tahap awal pembangunan tingkat kemiskinan meningkat dan pada
tahap akhir pembangunan tingkat kemiskinan menurun.
Faktor
yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan:
·
Pertumbuhan
·
Tingkat
pendidikan
·
Struktur
ekonomi
E.
Beberapa
Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Indikator
Kesenjangan
Ada
sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan
yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic
dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok
pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE),
ukuran atkinson, dan koefisien gini.
Yang
paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada
selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat
porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna
dalam pembagian pendapatan.
Ide
dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi
nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis
45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi
pendapatan.
Indikator
Kemiskinan
Batas
garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini
disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan
Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang
dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan
bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan
2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan
meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan
kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar
(basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama
merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan
dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan
absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah
batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan
minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari
2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non
makanan (non food line).
Untuk
mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk
(1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence
of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan
pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering
disebut rasio H. Kedua, the dept of property yang menggambarkan dalamnya
kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK),
atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi
jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai
suatu proporsi dari garis tersebut.
F.
Kemiskinan
di Indonesia
Menurut
Remi dan Tjiptoherijanto (2002:1) upaya menurunkan tingkat kemiskinan di
Indonesia telah dimulai awal tahun 1970-an diantaranya melalui program
Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes). Tetapi upaya tersebut
mengalami tahapan jenuh pada pertengahan tahun 1980-an, yang juga berarti upaya
penurunan kemiskinan di tahun 1970-an tidak maksimal, sehingga jumlah orang
miskin pada awal 1990-an kembali naik. Disamping itu kecenderungan
ketidakmerataan pendapatan nasional melebar yang mencakup antar sektor, antar
kelompok, dan ketidakmerataan antar wilayah.
Berdasarkan
data Bank Dunia jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2002 bukanlah 10
sampai 20% tetapi telah mencapai 60% dari jumlah penduduk Indonesia yang
berjumlah 215 juta jiwa.
Kemiskinan
telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang
berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya
investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan,
kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus
perpindahan dari desa ke kota dengan tujuan memperbaiki kehidupan, dan yang
lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan,
sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan menyebabkan masyarakat desa rela
mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, kemiskinan menyebabkan banyak
orang melakukan prilaku menyimpang, harga diri diperjual belikan hanya untuk mendapatkan
makan.
Masyarakat
miskin rela mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi
mereka yang memiliki uang dan memegang kendali atas sektor perekonomian lokal
dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para
buruh bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat
sedikit.Bahkan yang lebih parah, kemiskinan telah membuat masyarakat kita
terjebak dalam budaya memalas, budaya mengemis, dan menggantungkan harapannya
dari budi baik pemerintah melalui pemberian bantuan. kemiskinan juga dapat
meningkatkan angka kriminalitas, kenapa penulis mengatakan bahwa kemiskinan
dapat meningkatkan angka kriminalitas, jawabannya adalah karna mereka
(simiskin) akan rela melakukan apa saja untuk dapat mempertahankan hidupnya,
baik itu mencuri, membunuh, mencopet, bahkan jika ada hal yang lebih keji dari
itu ia akan tega dan berani melakukannya demi hidupnya. Kalau sudah seperti ini
siapa yang harus kita salahkan. kemiskinan seakan menjadi sebuah fenomena atau
sebuah persoalan yang tak ada habis-habisnya, pemerintah terkesan tidak serius
dalam menangani persoalan kemiskinan, pemerintah lebih membiarkan mereka
mengemis dan mencuri ketimbang memikirkan cara untuk menanggulangi dan
mengurangi tingkat kemiskinan dan membebaskan Negara dari para pengemis jalanan
karna kemiskinan.
Ada beberapa hal
yang menyebabkan kemiskinan yang melanda di indonesia antara lain:
·
Kualitas
sumber daya manusia itu sendiri
·
Sistem
pemerintahan di Indonesia yang masih belum
maksimal
·
Pengangguran
G.
Faktor-Faktor
Penyebab Kemiskinan
Faktor-Faktor
Penyebab Kemiskinan menurut Emil Salim :
·
Tidak
memiliki faktor produksi.
·
Tidak
memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri.
·
Tingkat
pendidikan mereka rendah,tak sampai tamat sekolah dasar.
·
Kebanyakaan
mereka tinggal di pedesaan.
·
Hidup
di kota dengan kurangnya ketrampilan dan pendidikan
Faktor Penyebab
Kemiskinan menurut Bank Dunia :
·
Kegagalan
kepemilikan terutama tanah dan modal
·
Terbatasnya
ketersediaan bahan kebutuhan dasar dan prasarana
·
Kebijakan
pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor
·
Adanya
perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang
mendukung
·
Adanya
perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi
tradisional versus ekonomi modern)
·
Rendahnya
produktivitas dan tingkat pembentukan
modal dalam masyarakat.
·
Budaya
hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelolah sumber daya alam dan
lingkungannya.
·
Tidak
adanya tata pemerintah yang bersih dan baik (good governance)
·
Pengelolaan
sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkunagan
H.
Kebijakan
anti Kemiskinan
Kebijakan anti
kemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan
yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB,ILO,
UNDP, dan lain sebagainya.
Tahun
1990, Bank Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty
mendeklarasikan bahwa suatu peperangan yang berhasil melawan kemiskinan perlu
dilakukan secara serentak pada tiga front : (i) pertumbuhan ekonomi yang luas
dan padat karya yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok
miskin, (ii) pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang memberi
mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang
diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi, (iii) membuat suatu jaringan pengaman
sosial untuk mereka yang diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mamu
untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan perkembangan
SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan
terisolasi secara fisik.
Untuk
mendukung strategi yang tepat dalam memerangi kemiskinan diperlukan
intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan
perantaranya dapat dibagi menurut waktu, yaitu :
·
Intervensi
jangka pendek, berupa :
-Pembangunan/penguatan
sektor usaha
-Kerjsama
regional
-Manajemen
pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
-Desentralisasi
-Pendidikan
dan kesehatan
-Penyediaan
air bersih dan pembangunan perkotaan
-Pembagian
tanah pertanian yang merata
·
Pembangunan
sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan
·
Manajemen
lingkungan dan SDA
·
Pembangunan
transportasi, komunikasi, energi dan keuangan
·
Peningkatan
keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan
·
Peningkatan
proteksi sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial)
Sumber:
Thanks, ilmu pengetahuan yg dimiliki didistribusikan adalah amal yg mulia, trus berkarya, smg sehat2 bersama keluarga
BalasHapus