PENGELOLAAN SDA INDONESIA
A. Masalah
SDA Struktur Penguasaan Sumber Daya Alam
Permasalahan pengelolaan sumberdaya alam
menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi pada masa kini dan masa yang
akan datang. Di lain pihak sumberdaya alam tersebut telah banyak mengalami
kerusakan-kerusakan, terutama berkaitan dengan cara-cara eksploitasinya guna
mencapai tujuan bisnis dan ekonomi. Dalam laporan PBB pada awal tahun 2000
umpamanya, telah diidentifikasi 5 jenis kerusakan ekosistem yang terancam
mencapai limitnya, yaitu meliputi ekosistem kawasan pantai dan sumberdaya
bahari, ekosistem lahan pertanian, ekosistem air tawar, ekosistem padang rumput
dan ekosistem hutan.
Padahal sumberdaya tersebut merupakan
pendukung utama bagi kehidupan manusia, dan karenanya menjadi sangat penting
kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat manusia yang
mengarah kepada kecenderungan pengurasan (depletion) dan degradasi
(degradation). Kecenderungan ini baik dilihat dari segi kualitas maupun
kuantitasnya dan terjadi di hampir semua kawasan, baik terjadi di negara-negara
maju maupun negara berkembang atau miskin.
Masalah
sumber daya alam dalam beberapa sektor, yaitu:
· Di Sektor Migas
Masalah kebijakan tambang migas di
Indonesia : Minyak dan Gas Bumi (Migas), diyakini banyak kalangan sebagai
komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari
angka-angka, Migas memang berkontribusi paling tinggi dibanding sektor lain
pada pendapatan (yang katanya) negara. Oleh karena itu, semua mata jadi
tertutup, dan kita tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam
penambangan migas. Akibatnya, Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas
Migas di Indonesia bersama para kontraktornya leluasa berbuat sewenang-wenang
atas kekayaan alam Indonesia. Kesalahan
utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1
tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diikuti penandatanganan kontrak
karya (KK) generasi I antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran .
Disusul dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang
berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya
adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan
pemodal. Dari kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak
dalam posisi lebih rendah dibanding posisi pemodal yang disayanginya.
Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap perusahaan
pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
Sejak tahun 1967 hingga saat ini,
pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, (kini
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga jika berhasil mengeluarkan
izin pertambangan sebanyak mungkin. Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999
pemerintah telah “berhasil” memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang
terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa
Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir
separuh dari luas total daratan Indonesia . Jumlah tersebut belum termasuk
perijinan untuk kategori bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh
pemerintah daerah berupa SIPD. Walaupun baru sebagian kecil dari perusahaan
yang memiliki izin itu melakukan kegiatan eksploitasi, namun dampaknya sudah
terasa menguatirkan.
Berbagai kasus korupsi di dunia
pertambangan belum satupun yang diusut tuntas. Eufemisme justru sering
digunakan untuk menyelamatkan Pertamina dari tuduhan korupsi seperti kasus
mis-manajemen yang diungkap pada Habibie. Selain masalah korupsi, banyak
masalah lain yang juga belum terungkap dalam penambangan Migas. Misal saja, hak
menguasai negara yang diberikan secara mutlak pada PERTAMINA, proses lahirnya
Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil/PSC) antara PERTAMINA dengan
perusahaan multinasional, rencana investasi yang diatur oleh perusahaan
multinasional.
Di sisi lain, perkembangan RUU Migas UU
Migas No. 44 Prp tahun 1960, kini sedang disiapkan penggantinya oleh
pemerintah. Rancangan UU ini sempat menjadi kontroversial, karena terjadi
perbedaan pandangan yang tajam antara pemerintah dan DPR-RI saat itu.
Perdebatan yang mengemuka saat itu berkisar pada peran Pertamina, dan
kepentingan ekonomi negara.
Production Sharing Contrac (Kontrak
Bagi Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas, pemerintah berkeinginan mengganti PSC
dengan Kontrak Kerjasama, yang menyerupai Kontrak Karya dalam pertambangan
umum. Padahal semua tahu model Kontrak Kerjasama ala Kontrak Karya, telah
nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk hasil alamnya oleh perusahaan
tambang. Perdebatan menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan sistem kontrak,
yang sangat diharapkan oleh investor.
Liberalisasi distribusi dan pemasaran
migas, Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di
PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi
perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran
migas. Sepintas ide ini cukup menarik. Namun ancaman di balik itu sungguh
sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah
perushaan-perusahaan multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco,
Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka yang paling siap, maka
mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di
Indonesia. Maka yang akan terjadi adalah bergantinya Monopoli Pertamina pada
Oligopoli perusahaan multinasional.
Ancaman besarnya modal yang akan masuk
pada industri migas di Indonesia, juga menjadi tidak mendapatkan perhatian
pemerintah. Padahal, dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh
perusahaan multinasional dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga
keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah ancaman serius yang patut
diperhatikan semua pihak. Perang saudara di Angola adalah satu contoh terparah
akan betapa buruknya intervensi perusahaan multinasional pada keutuhan negara.
Isu lingkungan hidup merupakan isu yang
sangat marjinal di kalangan politisi dan pemerintah. Seolah-olah aktivitas
industri migas dilakukan di wilayah hampa kepemilikan dan kebal polusi. Padahal
berbagai kasus menunjukan isu ini menjadi pemicu lahirnya perlawanan rakyat,
seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus Mobil Oil yang sudah lama
disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi referensi bagi pengambil
kebijakan untuk mengubah susbstansi dan perilaku kebijakan. Negara secara
semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas ketidakadilan menjadi persoalan
perimbangan keuangan semata. Kontrak karya pertambangan yang berada dikawasan
hutan lindung telah mencapai 17,669 juta ha atau 37,5 % dari total luas lahan
kontrak karya seluas 47,059 juta ha. Kontribusi kerusakan hutan sejak tahun
1996 meningkat 2 juta ha per tahun.
· Di Sektor
Kehutanan
Kawasan hutan lindung/konservasi yang
saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya diantaranya hutan lindung
Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT Gag Nickel/BHP,
Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu (Sulteng) dan
Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT Jember Metal,
Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman terhadap kawasan
konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang,
seperti ; Taman Nasional Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh PT. Mandar Uli
Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh PT. Barisan Tropikal
Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan
Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung Meratus –
Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome; Taman
Nasional Wanggameti oleh PT. BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo Minerals;
dan Taman Wisata Pulau Buhubulu, oleh PT. Antam Tbk.
Terjadi perubahan luas kawasan hutan
karena eksploitasi hutan tropis Indonesia secara besar besaran, dipacu dengan
UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. Sejalan itu
pula, diterbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan
UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi
ruang bagi para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti
dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar kroni Orde Baru
menguasai dan membabat hutan untuk membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21
Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman
Industri, dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak kepada
Struktur penguasaan kekayaan sumber
daya alam di Indonesia banyak didominasi oleh pengusaha besar dengan kekuatan
kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta
mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa
konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang hidupnya mengandalkan sumber
daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum negara berdiri, nasibnya
justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam
ini sebagai basis konflik sosial yang riil terjadi dalam kehidupan rakyat.
Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru terjadi pada sub sektor
kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan rakyat.
Perusahaan pemegang HPH yang membawa
izin dari pusat, tanpa menghiraukan kepentingan rakyat menebang pohon-pohon
besar “milik negara”. Sementara akses rakyat setempat untuk sekedar
memanfaatkan hasil hutan non-kayu (seperti rotan dan damar) ditutup secara
sepihak.. Ada 574 perusahaan HPH yang dikatakan mengelola 59 juta ha hutan,
padahal faktanya mereka tidak mengelola tetapi sekedar menebang bahkan membabat
hutan tanpa menanam kembali. Beberapa konglomerat yang pernah memegang HPH
sampai jutaan hektar, diantaranya Prajogo Pangestu seluas 3.536.800 Ha, Andi
Sutanto (3.142.800 ha), Burhan Uray (3.996.200 ha), PO Suwandi (2.189.000 ha),
dll. (BI, 23/10/98). Fakta lain mengatakan bahwa awal Juli 1999, Dephutbun
mengumumkan 18 HPH yang berindikasi KKN para kroni Soeharto. 9 HPH/HPHTI diduga
kuat melakukan KKN, 4 HPH dicabut pencadangannya, 5 HPH tidak diperpanjang izin
konsesinya (Kompas, 9 Juli 1999) Dephutbun juga mengidentifikasikan bahwa
seluas 3,03 juta ha lahan perkebunan dikuasai oleh 33 perusahaan besar di 7
propinsi.
Eksploitasi yang dilakukan para
pemegang HPH sangat fantastis dalam rentang 10 tahun terakhir. Data
memperlihatkan bahwa produksi kayu bulat mencapai 260,58 juta meter kubik, kayu
gergajian 35,84 juta meter kubik, dan kayu lapis 98,052 juta meter kubik. Di
sisi lain, ekspor kayu lapis Indonesia dalam 5 tahun terakhir mencapai 56,06
juta m3 dengan nilai devisa 18,73 milyar US$. Sayangnya, nilai devisa itu tidak
dinikmati oleh rakyat, tidak juga oleh Pemerintah Daerah. Studi Walhi (1994)
menunjukkan 85% keuntungan sektor kehutanan langsung dinikmati oleh para
pengusaha, sementar sisanya oleh Pemerintah Pusat. Tampak jelas bahwa hasil
eksploitasi bukan untuk rakyat. Indikator ini dapat dilihat dari tenaga kerja
yang terlibat dalam usaha perkayuan pada HPH terbilang sangat kecil, yakni
hanya 153.438 orang pada tahun 1997. Sementara di pihak lain, ada sekitar 20
juta jiwa rakyat yang mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan mengalami
kemiskinan yang berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan lahan
1997-1998, mereka mengalami proses pemiskinan antara 40-73 persen dibandingkan
sebelum kebakaran.
Selama beberapa dasawarsa, penguasa
Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan lingkungan dan
kehidupan masyarakat setempat yang berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari
dukungan pemerintah negara-negara Utara, program bantuan internasional dan
perusahaan-perusahaan asing. Atas nama pembangunan hutan dirusak dan laut,
sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus mengalah kepada HPH, HTI,
pertambangan, pembangkit listrik dan proyek berskala besar lainnya. Ironisnya,
keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati oleh segelintir orang, kelompok elit
yang kaya dan penanam modal internasional.
B. Kebijakan
SDA dan Struktur Penguasaan SDA
Kebijakan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
·
Mengelola
sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
·
Meningkatkan
pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan
konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi
ramah lingkungan.
·
Menerapkan
indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam
pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan
yang tidak dapat balik.
·
Mendelegasikan
secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan
lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan
undang-undang.
·
Mendayagunakan
sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang
berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan
ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.
Arah
kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam
dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam :
·
Melakukan
pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5
Ketetapan ini.
·
Mewujudkan
optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan
inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi dalam
pembangunan nasional.
·
Memperluas
pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam
di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan
teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.
·
Memperhatikan
sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan
upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut.
·
Menyelesaikan
konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus
dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin
terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
·
Menyusun
strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat
dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.
C.
Dominasi
SDA di Indonesia
Dominasi asing merupakan permasalahan
penting di bidang energi negara. Penguasaan asing atas sumber daya alam telah
banyak menimbulkan persoalan, tidak hanya bidang energi tapi juga merambah
kepada kehidupan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup.
Pertambangan (Batu bara, emas, nikel,
timah, bijih besi) minyak, gas, hutan serta perkebunan, sumber daya alam yang
sekarang sedang digalakan secara besar-besaran oleh pemerintah indonesia.
Sebuah model pembangunan yang di dasarkan pada penghancuran basis produksi
masyarakat lama yang dilepaskan dari alat produksinya untuk kemudian dimasukan
ke dalam barisan tentara proletariat dan menghancurkan ekologi. Bahkan
kerusakan ekologi pun masih bisa di jadikan sumber pelipatgandaan kapital, baik
itu lewat pinjaman/hibah jual beli karbon, Corporate Sosial Responsibility,
Konservasi lahan dan lain-lain.
Dampak yang paling terasa ialah
pembukaan sistem pasar bebas tanpa ada hambatan birokratis, karena untuk
sekarang ini sistem pemberian Izin Usaha terutama untuk industri ekstratif
tidak harus tersentral di Pemerintah Pusat namun bisa langsung ke pemeritah daerah.
Dari uraian data di atas nampak jelas
bahwa investasi asing lebih mendominasi perekonomian Indonesia dengan
presentase modal asing sebesar 67 % dan modal dalam negeri hanya sebesar 33 %,
data ini mengindikasikan lemahnya borjuasi dalam negeri karena masih di
dominasi asing. Di tambah lagi dengan masuknya modal dari negara-negara
imperialis melalui lembaga financial, sebagai contoh bagaimana bank-bank di
Inggris memanfaatkan dana pensiun rakyat Inggris untuk di investasikan ke lebih
dari 50 proyek penambangan dan 12 perusahaan besar yang beroprasi di Kalimantan
timur.
Contoh ialah BHP Billiton yang
merupakan salah satu perusahaan Inggris yang rencanaya akan menambang batubara
di Indonesia dengan luas 350.000 hektar di kabupaten Kutai Barat, propinsi
kalimantan timur. Yang mana sepenuhnya di biayai oleh Barclays dengan
menggunakan dana pensiun di Inggris. Lain halnya dengan Borneo Lumbung Energi
perusahaan yang di dirikan oleh atas kerja sama Nat Rotshchild dan beberapa
konglomerasi keluarga Bakrie yang juga akan mencalonkan diri menjadi Presiden
Indonesia 2014, ia mendapatkan pinjaman sebesar US$ 1 billion dari bank
Standart Charted. Serta PT. Adaro Energi sebagai produsen Termal Coal terbesar
kedua di Indonesia yang mendapatkan pinjaman 245 Juta Poundsterling dari
koalisi bank Inggris termasuk HSBC dan Standart Charterd. Proyek ini salah satu
yang terbesar di Kalimantan Timur dan di Indonesia.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar