PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH
A.
Undang-Undang
otonomi daerah
Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah berasal
dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata
autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau
undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur
sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga
sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah.
Pelaksanaan
otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi
tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah
kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam
mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah
masing-masing.
Terdapat
dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
·
Nilai
Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara
("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan
pemerintahan
·
Nilai
dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar
1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan
dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. .
Prinsip otonomi
yang dianut adalah:
·
Nyata,
otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di
daerah;
·
Bertanggung
jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan
di seluruh pelosok tanah air; dan
·
Dinamis,
pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju.
Dasar Hukum
·
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
·
Ketetapan
MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
·
Ketetapan
MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah.
·
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
·
UU
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Aturan
Perundang-undangan
Beberapa
aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
·
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
·
Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
·
Undang-Undang
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
·
Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
·
Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah
·
Perpu
No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
·
Undang-Undang
No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Pelaksanaan
otonomi daerah merupakan titik fokus yang penting dalam rangka memperbaiki
kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh
pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing.
Otonomi daerah
diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839). Pada tahun 2004, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan
otonomi daerah[2] sehingga digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir kali dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844).
Ini merupakan
kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan
kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau
tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk
melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan
berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar
ketentuan perundang-undangan.
B.
Perubahan
penerimaan daerah dan peranan pendapatan asli daerah
Perubahan atas
pendapatan, terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para
pembuat keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang
perubahan APBD juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah
(DPRD). Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang
berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya
sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan
tentang pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan
perkembangan terkini.
Ada beberapa
kondisi yang menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di
antaranya:
·
Target
pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah
angka untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu
menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud
merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk
dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah.
·
Alasan
penentuan target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang
dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer.
Dalam penyusunan rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD
mempunyai ruang untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi
tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.Jika dalam APBD
“murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan
untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran yang baru
untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat diartikan
sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam mengungkit
(leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada
tahun anggaran sebelumnya.
Kebijakan
keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai
sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil
ketergantungan dalam mendapatkan dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi).
Dengan demikian usaha peningkatan pendapatan asli daerah seharusnya dilihat
dari perspektif yang Iebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah
masing-masing tetapi daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia.
Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap sebagai alternatif untuk
memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan
pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh
karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan hal yang dikehendaki
setiap daerah. (Mamesa, 1995:30)
Pendapatan Asli
Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk
memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33
Tahun 2004).
C.
Pembangunan
Ekonomi Regional
Secara
tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross
Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna
pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik
Regional Bruto suatu provinsi, kabupaten, atau kota.
Pembangunan
ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat
mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja
baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam
wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).
Tujuan utama
dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang
setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan,
ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk
atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(Todaro, 2000).
Masalah pokok
dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap
kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang
bersangkutan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan
sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada
pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses
pembangunan untuk mencipatakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan
kegiatan ekonomi.
Pembangunan
ekonomi daerah adalah suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan
institusi – institusi baru, pembangunan industri – industri alternatif,
perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa
yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan
pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Setiap upaya
pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan
jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan
tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama
mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah
berserta pertisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya-sumber
daya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk
merancang dan membangun perekonomian daerah.
D. Faktor-Faktor
Penyebab Ketimpangan
Sudah
cukup banyak studi yang menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya
ketimpangan ekonomi antar provinsi atau wilayah di Indonesia. Di antaranya dari
Esmara (1975), Sediono dan Igusa (1992), Azis (1989), Hill dan Wiliams (1989),
Sondakh (1994), dan Safrizal (1997,2000). Kesimpulan dari semua studi-studi
tersebut adalah bahwa faktor-faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan
ekonomi antar provinsi di Indonesia adalah sebagai berikut:
·
Kosentrasi
Kegiatan Ekonomi Wilayah
·
Alokasi
Investasi
E.
Pembangunan
Indonesia Bagian Timur
GBHN
1993 mengamanatkan perlunya menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah serta
melaksanakan otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis, dan bertanggungjawab
di dalam suatu kesatuan Wawasan Nusantara. Implikasinya adalah bahwa
kebijaksanaan pembangunan daerah tidaklah sekedar memberikan kompensasi alokasi
finansial kepada propinsi atau kawasan yang relatif tertinggal, akan tetapi
justru lebih difokuskan untuk dapat menumbuhkan sikap kemandirian dari
masing-masing daerah tersebut untuk dapat mengelola dan mengembangkan potensi
sumberdaya yang dimiliki demi kepentingan daerah yang bersangkutan pada
khususnya maupun kepentingan nasional pada umumnya.
Selama
PJP I, perkembangan ekonomi antardaerah memperlihatkan kecenderungan bahwa
propinsi-propinsi di Pulau Jawa pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi
yang lebih cepat dibandingkan dengan propinsi lainnya di luar Jawa. Perbedaan
perkembangan antardaerah tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan
kesejahteraan dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa,
antara kawasan barat Indonesia (KBI) dengan kawasan timur Indonesia (KTI), dan
antara daerah perkotaan dengan daerah perdesaan. Disamping itu, masih ditemui
daerah-daerah yang relatif tertinggal dibandingkan daerah lain, yaitu daerah
terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah
terbelakang lainnya.
Dalam
PJP II, wilayah kawasan timur Indonesia (KTI) yang secara definitif meliputi 13
propinsi yang ada di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan timur, telah
diberikan prioritas untuk dikembangkan dalam upaya untuk memperkecil tingkat
kesenjangan yang terjadi antara kawasan barat Indonesia dengan KTI selama PJP I
yang lalu. Sebenarnya, sejak lima tahun terkahir ini upaya untuk mempercepat
pembangunan dan mengembangkan KTI telah banyak dilakukan melalui berbagai
kebijaksanaan dan program pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah, serta
melalui berbagai seminar, lokakarya, rapat kerja, sarasehan yang membahas
masalah pembangunan KTI yang dilakukan baik oleh pemerintah, pihak perguruan
tinggi, maupun pihak dunia usaha swasta.
Dalam
membangun KTI, terdapat beberapa faktor pokok yang perlu diberikan perhatian
lebih mendalam dalam memformulasikan strategi pengembangannya, yaitu: (a)
adanya keanekaragaman situasi dan kondisi daerah-daerah di KTI yang memerlukan
kebijaksanaan serta solusi pembangunan yang disesuaikan dengan kepentingan
setempat (local needs); (b) perlunya pendekatan pembangunan yang dilaksanakan
secara terpadu dan menggunakan pendekatan perwilayahan; (c) perencanaan
pembangunan di daerah harus memperhatikan serta melibatkan peranserta
masyarakat; serta (d) peningkatan serta pengembangan sektor pertanian yang
tangguh untuk dapat menanggulangi masalah kemiskinan baik di perdesaan maupun
di perkotaan melalui peningkatan pendapatan masyarakat khususnya dalam bidang
agribisnis dan agroindustri, serta penyediaan berbagai sarana dan prasarana
lapangan kerja.
Selain
itu, dalam memformulasikan strategi pengembangan KTI terdapat tiga pertimbangan
pokok terhadap potensi dan peluang yang dimiliki KTI, yaitu: (a) beberapa
propinsi di KTI merupakan daerah yang kaya akan sumberdaya alam yang memiliki
potensi untuk dikembangkan, yang pada gilirannya dapat pula dikembangkan
menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan; (b) jumlah penduduk yang relatif
sedikit dengan penyebaran yang tidak merata dibandingkan luas wilayah,
merupakan "katup pengaman" bagi program transmigrasi penduduk dari
wilayah KBI yang relatif lebih padat; serta (c) adanya komitmen pemerintah
untuk melaksanakan pembangunan yang memperhatikan aspek pemerataan dalam rangka
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
F.
Teori
dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Ada
sejumlah teori yang dapat menerangkan kenapa ada perbedaan dalam tingkat
pembangunan ekonomi antardaerah diantaranya yang umum di gunakan adalah teori
basis ekonomi,teori lokasi dan teori daya tarik industri.
1. Teori
pembangunan ekonomi daerah
·
Teori
basis ekonomi
·
Teori
lokasi
·
Teori
daya tarik industry
Dalam upaya
pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering di pertanyakan. Jenis – jenis
industri apa saja yang tepat untuk dikembangkan (diunggulkan) ? Ini adalah
masalah membangun fortofolio industri suatu daerah.
2. Model
analisis pembangunan daerah
Berikut adalah
sebagian penjelasan dari model analisis dalam pembagunaan daerah.
·
Analisis
SS
·
Location
Quotients (LQ)
·
Angka
Pengganda Pendapatan
·
Analisis
Input-Output (I-O)
Sumber:
Komentar
Posting Komentar